Rabu, 08 Desember 2010

aku terbangun



Hujan deras mengguyur kota sepanjang hari, mengurung aku sendirian di dalam kamar ini. Dari jendela bisa kulihat jeruji perak yang berkilau muram di luar sana, dan dari sela-selanya terlihat pemandangan dunia sebatas yang bisa ditangkap bingkai jendela kecil itu.

Aku duduk murung, memandang kosong dunia kelabu dalam pigura jendela. Hidup ini terasa begitu sepi, sebab aku terpenjara oleh perasaan bernama ‘cinta’ yang selama dua tahun tak pernah bisa kuungkapkan. Setiap hari kurindukan perempuan yang sama; berharap ia berada di sampingku sehingga kami bisa bercerita tentang dunia terindah yang pernah ada. Namun itu hanya angan-angan kosong. Rasa rinduku takkan pernah terobati.

Masih kulayangkan pandang ke luar sana, dan saat itu baru kusadari aku melihat sesuatu. Seorang laki-laki di seberang jalan di depan rumahku, berdiri dalam hujan. Baru kuingat bahwa dia telah berada di sana sejak pagi, ketika hujan baru mulai turun. Dan bukan hanya itu, ia adalah laki-laki yang sama yang kulihat di hari-hari sebelumnya, setiap hari selama dua tahun belakangan ini.

Laki-laki itu berdiri memandangi pintu rumah di depannya, rumah yang berada tepat di depan rumahku.

Dia berdiri bagaikan patung, tetap tidak bergeming walau hujan deras menerpanya. Aku mengambil payung lalu ke luar dan menghampirinya. Bahkan dia sama sekali tidak mempedulikan aku yang datang di sampingnya.

“Pakai ini!” ucapku memberikan sebuah payung lain yang kubawakan buatnya.

Cukup lama waktu berjalan sebelum dia akhirnya berpaling padaku, menatapku walau tetap dalam diam. Diambilnya payung itu kemudian dipakainya, lalu dia melanjutkan memandangi pintu rumah itu.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku. Dia tidak menjawab.

“Kuperhatikan kau berada di sini setiap hari, dari pagi hingga malam, memandangi rumah yang sama, memandangi pintu yang sama. Tidakkah aku boleh mengetahui alasan di balik itu semua?” tanyaku lagi.

Dia tertunduk, lalu berkata, “Aku mencintai seorang perempuan, ia tinggal di rumah itu. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan rasa cintaku padanya. Ia seperti embun yang mengisi cawan cintaku, sehingga aku bisa meminumnya dan melepaskan dahaga jiwaku akan cinta selama-lamanya. Aku berada di sini karena mungkin dia tidak tahu sebesar apa cintaku padanya. Ingin kuberitahu dirinya tentang rasa ini.”

“Lalu, kau sudah memberitahunya?”

Dia semakin tertunduk lesu. “Belum,” jawabnya.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

“Setiap hari aku datang ke sini untuk mengobati rasa rinduku padanya. Awalnya aku ingin mengetuk pintu itu dan mengatakannya, tetapi setiap kali tinggal beberapa langkah dari dari pintu itu, aku tidak jadi melakukannya. Aku ragu apakah dia juga mencintai aku? Apakah dia benar-benar adalah pelepas dahaga jiwaku? Maka aku hanya berdiri di sini.”

Mendengar jawabannya, aku berkata, “Begitu ya… Sayang sekali aku tidak bisa membantumu.”

Aku lalu melangkah meninggalkannya sambil berkata, “Ambillah payung itu. Sekarang sedang musim hujan, mungkin lain kali kau membutuhkannya lagi, gawat kalau kau jatuh sakit.”

Malamnya, sebelum tidur aku melihat ke luar jendela, dan laki-laki itu masih berdiri di sana.

****

Keesokan hari ketika aku bangun pagi, aku mengintip lagi ke luar jendela, dan kulihat di sudah ada di sana. Meskipun hari itu tidak hujan, dia memakai payung yang kemarin kuberikan, berdiri dalam diam dengan mata tertuju ke satu arah. Tak bisa kubayangkan sebesar apa cintanya pada perempuan itu.

Hari itu aku tidak menyapanya seperti hari sebelumnya; kubiarkan dia menyelami diri untuk menemukan keberanian walu hanya setitik. Aku berusaha untuk tidak memedulikan dirinya, namun rupanya itu sulit sekali. Setiap kali melewati jendela mataku otomatis melirik ke luar dan menangkap bayangannya. Malahan aku selalu memikirkannya setiap saat. Dia selalu mengisi kepalaku. Entah bagaimana, secara perlahan aku seperti bisa merasakan apa yang dirasakannya. Rindu yang menumpuk, dan cinta yang tak bisa terucap.

Hari berikutnya tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hanya saja perasaan aneh yang menghantuiku menjadi semakin besar. Seolah aku benar-benar menghayati perannya, dan bahkan menyatu dengannya. Hal itu benar-benar sangat mengusik hati dan pikiranku.

Lalu suatu hari ketika aku sudah tak tahan lagi dengan perasaan itu, aku menghambur ke luar dan bermaksud menemui laki-laki itu. Tetapi yang kutemukan di tempat dia biasanya berdiri malah seorang laki-laki tua. Dia membawa payung.

Saat melihatku, dia berkata, “Dia memintaku untuk menyerahkan ini padamu,” seraya memberikan payung yang dipegangnya, “tapi aku tak tahu yang ini untuk siapa.” Lanjutnya memperlihatkan sebuah buku tebal dengan sampul cokelat. Halaman-halaman buku itu banyak yang hanya dijejalkan di antara halaman-halaman lain dengan asal-asalan. Ada kesan antik pada buku itu.

Aku mengambil payung dan buku itu. Kemudian aku bertanya, “Apa yang terjadi pada laki-laki ini?”

Orang tua itu menjawab, “Dia telah meninggal. Sebuah truk menabraknya pagi tadi. Dia terpental sampai sepuluh meter dan jatuh menghantam aspal. Saat aku menghampirinya untuk menolong, dengan kata-kata terakhir yang dimilikinya dia memintaku membawa kedua benda itu ke sini dan memberikan payung itu padamu. Tetapi dia tidak mengatakan untuk siapa buku itu.”

Kulihat sampul buku itu; warnanya cokelat tua dan ada bercak-bercak merah mungkin karena darahnya, sebab di payung juga terdapat bercak yang sama. Entah apa yang tertulis di dalamnya.

“Kalau begitu aku permisi dulu,” ucap orang tua itu, lalu ia pun beranjak pergi.

“Terima kasih,” ujarku.

Sungguh malang nasib laki-laki itu, betapa hidup yang dilaluinya selama ini menjadi sia-sia. Setiap hari berdiri di tempat yang sama, hanya untuk mati membawa kata yang tak sempat terucap. Adakah kisah yang lebih menyedihkan daripada kisah cintanya?

Kini akulah yang berdiri di tempat ia setiap hari berdiri membeku bersama lidahnya, menghabiskan waktu yang dimilikinya. Kupegang buku yang mungkin memuat seluruh catatan perasaannya pada seseorang, yang ditorehkan oleh tangannya sendiri. Lalu kuputuskan untuk melangkah menuju pintu yang selalu berada di pelupuk mata laki-laki malang itu. Kuketuk tuga kali, dan pintu itupun terbuka.

Seorang perempuan membukanya dengan wajah berseri-seri gembira, namun raut itu sekejap menghilang ketika dia melihatku. Sedikit tertunduk, dia bertanya, “Maaf, kupikir kau orang lain. Ada apa?”

“Aku ingin menyampaikan apa yang tak sempat tersampaikan oleh waktu, “ jawabku, “tentang perasaan seseorang yang kini telah pergi.”

Mendengar jawabanku, perempuan itu memintaku untuk masuk dan duduk menjadi tamunya. Setelah itu, dia berkata pelan, “Selama dua tahun aku menyimpan perasaanku di balik sebuah pintu, pintu itu tidak pernah terkunci, tetapi ia selalu tertutup. Aku menunggu pintu itu dibuka oleh orang yang mencintaiku dengan sungguh-sungguh, dengan sepenuh hatinya. Setiap hari, sampai larut malam aku terjaga di balik pintu itu, menunggu apa yang hingga kini tidak jua datang. Kuharap seseorang akan datang pada akhirnya, tetapi ternyata tidak.” Perempuan itu mengucapkan setiap kata diiringi linangan air mata.

Sungguh kisah itu menjadi berkali-kali lipat menyedihkan. Kubendung sekuat tenaga air mata yang ingin mengalir, dan karena tak tahu berapa lama lagi bisa kutahan tangisku, maka kuserahkan buku itu padanya dengan ucapan, “Kurasa semua yang ingin diungkapkannya ada di sini. Walaupun ia kini telah tiada. Ambillah, ini untukmu!”

Setelah itu aku langsung pergi dari hadapannya.

Berjam-jam aku mengurung diri, menangisi kisah cinta memilukan itu. Air mataku bercucur deras seperti hujan yang turun ketika pertama kali aku bicara pada laki-laki itu. Saat kuseka mataku yang basah di hadapan cermin, kulihat laki-laki itu berdiri di hadapanku, menatapku dari dalam cermin.

Saat terbangun, di luar hujan turun dengan derasnya. Dunia benar-benar kelabu. Kuusap wajahku, lalu aku bangkit. Kuhampiri jendela kamarku dan kulihat dunia abu-abu yang kosong dalam terpaan hujan.

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Kuraih gagang telepon dan kutekan nomor yang sudah kuhapal mati di dalam kepalaku. Kutunggu jawaban dari ujung telepon.

“Halo!” sahut sebuah suara perempuan.Aku menarik nafas, lalu berkata, “Yun! Aku mencintaimu sejak bertahun-tahun lalu ketika untuk pertama kali kulihat wajahmu, dan kau tersenyum padaku.”Dia terdiam.

.

Dan, di bagian ini kau terbangun dari tidur…

Saat Tak Terungkap


Hujan membasahi tanah merah itu, di sana seorang cowok sedang bersimpuh memandangi nisan itu. Gundukan itu masih memerah, baru saja membenamkan tubuh seseorang, waktu akhirnya membawa pergi sesosok raga. Baru kali ini aku melihatnya terpuruk seperti itu. Sejak mengenalnya, tak sedikitpun rasa duka yang pernah mampir dari wajah itu, tapi kini airmatanya menganak sungai. Begitu berhargakah sosok yang terdiam dibawah sana untuknya. Aku masih menatapnya, lintasan waktu kembali berputar membawaku ke tempat itu, awal pertemuan kami…

®®®

“Fin… lo mau kemana?” teriak Dian siang itu

“Nggak pulang ama kita?” Nina menimpali. Aku hanya menggeleng, hari ini aku harus cepat pulang, tak ada waktu mengikuti mereka berdua mengubrak-abrik mall

“Sori Di, Nin, gue lagi ada perlu” teriakku. Dan sedetik kemudian aku berlalu, meninggalkan keduanya yang hanya mengangkat bahu. Mamiku bisa marah kalo aku telat pulang lagi, uang jajanku bisa-bisa di diskon, ah mana bisa aku hidup…

Mentari masih asyik memanggang bumi, peluh melumuri dahiku. Jalan ini tak pernah berubah, toh selama dua tahun ini hanya jalan ini yang terus kulalui, menghitung tiap detailnya setiap hari sampai aku bosan sendiri. Inikah masa SMU yang kata orang menyenangkan, toh bagiku tak ada bedanya, hambar, hilang warna atau bahkan tepatnya dibilang hitam. Apa sih yang berkesan di sekolah itu, kecuali persahabatan dari Meyra dan Nina, just that, no more, desisku. Terus terang otakku sudah jenuh dengan semua ini.

Bruk!!! Benda keras itu membuat tubuhku terpental, jatuh terduduk di tanah. “Kalo jalan pake mata dong!!!” makianku meloncat

“Orang jalan pake kaki, nggak pake mata!!!” suara itu lebih keras dari makianku. Kini sesosok tubuh tegap di hadapanku, menatapku dengan seringai dingin yang menusuk. Aku meringis.

“So..sori..!” desisku perlahan. Nah loh, kok aku yang minta maaf. Bukannya cowok itu yang menubrukku sampai gusruk kayak gini. Akhirnya kuangkat tubuhku dari tanah itu

“Maka lain kali kalo jalan pake kaki, jangan pake mata!!!” bentaknya kini. Aku melotot garang. Sedetik kemudian dia membalasnya, ditatap begitu tentu saja memaksaku menyerah, aku bergidik melihat cowok itu. Oh ya siapa sehhh yang nggak kenal cowok dengan tubuh atletis ini yang dilengkapi dengan sepasang mata rajawali yang siap menantang siapapun juga tanpa ampun ditopang oleh kata-kata kasar yang entah dipelajarinya dari perguruan mana. Inilah preman nomor satu sekolahku, bahkan semua guru sudah angkat tangan pada tingkahnya.

“Apa liat-liat!!!” bentakan kembali menamparku, tanpa sadar aku sejak tadi menatapnya.

“Enggak!!!” aku melangkah pergi. Sial sekali hari ini, sudah mentari tak bersahabat memanggangku hidup-hidup malah di tambah lagi keseraman barusan, pukulan telak..

®®®

“Bayangin dah Fin, all counter bikin big sale ampe 70 %. Oh God, uang gue ampe abis buat ngeborong semua!!!” seru Dian antusias.

“Lo pasti nyesel Fin, nggak ikut kita,” Meyra ikut menimpali, aku cuma tersenyum menatap kedua ratu mall itu menceritakan perburuannya kemarin.

“Trus barang-barang yang kalian beli bermanfaat nggak?” balasku. Mereka berdua saling menatap kemudian mengangkat bahu.

“Yah iya sih, yang jelas shopping tuh ilangin stresss,” Meyra mengangguk membenarkan ucapan Dian.

“Eh apaan tuh, rame-rame!” kutarik keduanya mendekati kerumunan itu

“Aduh Fin!! Ngak usah ikut-ikutan deh!” Dian protes, tapi tak kuhiraukan juga

“Oh GOD,” desis Meyra tak kalah terkejutnya dari aku. Di dalam dinding manusia itu, Anto dipukul habis-habisan oleh Dimas. That’s good.

“STOPPPP!” teriakku dan entah dari mana datangnya keberanian yang menyeret tubuhku berdiri di antara kedua cowok itu

“Minggir kamu, ini bukan urusan cewek!” Dimas mencekal tanganku dan menyeretku menjauh dari kesenangannya itu. Aku bertahan, dia mempelototiku tajam, tatapan yang sama seperti kemarin. Tajam sampai ke tulang rusukku. Aku tidak bergerak.

“Nggak usah sok pahlawan deh!” bentaknya.

“Ini bukan masalah pahlawan kek, pengecut kek! Ini nggak baik. Kamu nggak boleh mukul orang sembarangan!” Ingin rasanya kusumbat mulutku agar berhenti melontarkan kata-kata.

“Nggak baik? Apa sih yang kamu tahu soal baik atau buruk! Yang baik menurut kamu belum tentu baik menurut aku!” suaranya naik seribu desibel. Ok! Telingaku sebentar lagi teriak, tak sanggup menerima suara sekeras itu.

“Terserah!!! yang jelas kamu nggak boleh berkelahi di sini. Ini sekolah bukan ring tinju!” teriakku tepat di wajahnya. Kutatap Anto yang cuma terdiam. “Kamu nggak papa kan To!” Tawa kecil di belakangku membuatku berbalik.

“Kamu nggak malu yah, udah bikin masalah ma aku sekarang dibelain cewek. Banci!!!” Dimas menyeringai.

“Fin, lo minggir aja deh. Ini urusan gue ma berandalan brengsek ini.” Aku mengerutkan kening.

“Udah, kita tunda dulu. Biarin nenek cerewet ini pergi dulu. Kita selesaiin nanti!” Diacungkannya tangannya menantang Anto. Di sana Anto mennaggguk mantap, dengan mata berapi penuh dendam. Aku melongo, apa yang kulakukan.

“Ayo Fin, ngapaiin sih sok jago gitu!” Meyra menyeretku menjauh. Dian habis-habisan memakiku, aku cuma mengacak rambutku tanpa paham dengan apa yang baru saja diinstruksikan sel abu-abuku. Apa ada yang salah…

®®®

Kusandang tas ranselku, kutapaki jalan itu. Jalan itu lagi. Aku sudah jenuh dengan jalan ini. Kapan semua rutinitas bodoh dan tanpa arti ini berakhir, aku sudah bosan. Semua betul-betul perulangan sejati, berulang dan terus berulang, selalu melintasi jalan yang sama, di tempat yang sama seakan waktu tak bergerak tapi tetap memakan usiaku.

“Hey To, mo latian yah!” kusapa cowok itu. Dia cuma tersenyum. Dipermainkannya tongkat baseball di tangannya. Masih ada sisa lebam di wajahnya. Semua cowok itu menatapku, aku jadi rikuh.

“Yah met latihan, aku pulang duluan yah!” Wuihhhh… serem juga temennya Anto, apa mereka ikut gabung juga di klub baseball. Seingatku mereka bukan teman sekolahku. Tapi namanya juga klub umum walaupun tetap di bawah bendera sekolah tapi pesertanya boleh dari mana aja. Whatever, i don’t care. Pokoknya aku ingin kembali ke peraduanku, pegel juga abis latian taekwon hari ini. Ampe patah-patah.

Kuhentikan langkahku saat mataku tertumbuk pada sesosok tubuh yang tergeletak di tanah. Aku enggan mendekat, tapi toh otakku memerintahkan lain. Penasaran kembali menggelitikku, oughhh kapan rasa ini berakhir.

“Dimasss!” desisku saat menatap tubuh penuh memar itu, aku berjongkok di sisinya. “Kamu kenapa?” Dia berusaha bangkit, menepiskan uluran tanganku.

“Aku nggak butuh bantuan kamu!” Dia berdiri dengan susah payah, aku mengikutinya.

“Nih, luka kamu perlu dibalut!” Kuulurkan sapu tanganku dan untuk kedua kalinya ditepiskan dengan kasar.

“Kamu berkelahi lagi kan? Emang apa enaknya sih? Emangnya kalo berkelahi, kamu pikir kamu jantan!” Lagi-lagi semprotan kata-kata meluncur telak tanpa kendali. Dia menatapku, lalu menyeringai.

“Ini kehidupanku, kamu nggak usah ikut campur.” Dia melangkah pergi. “Kamu tuh harusnya perlu banyak belajar, supaya nggak usah ikut campu urusan orang lain!” teriaknya masih terus berjalan.

“Ini bukan urusan orang lain!!! Kamu itu teman kelasku, apa aku nggak boleh peduli ama kamu. Kamu tuh nyadar dong, orang tua kamu nyekolahin kamu bukan buat jadi berandalan sekolah, tapi jadi orang pintarrr!” teriakku lantang. Dia menghentikan langkahnya. Berjalan kembali ke arahku. Dicengkramnya daguku kuat-kuat, wajahku kini berhadapan tepat diwajahnya. Aku panas-dingin.
”Apa yang kau tahu entang orang tuaku, hah!!! Mereka tidak peduli apa jadinya anaknya ini!!!! Apa kamu tahu itu!!! Kamu jangan sok tahu! Sok pintar, sok pedulian ama orang. Udah urus saja diri kamu sendiri. Apa kau mengerti perasaanku. Sejak kakakku meninggal aku hanya orang lain yang tidak bisa memberikan yang terbaik seperti yang pernah diberikan kakakku pada mereka. Mereka tak peduli apa aku hidup atau mati, bagi mereka aku tidak ada. Mereka tidak punya anak seperti aku!!! Apa kau tahu itu!!!” Dilepaskannya cengkraman itu, darah di kepalanya masih mengalir. Aku bergidik.

“Makanya lain kali nggak usah ikut campur dengan sesuatu yang tidak kau tahu!”

“Kamu pengecut!” lirihku. Dimas menghujamkan matanya padaku

“Kamu kalah pada diri kamu sendiri, aku tidak menyangka cowok yang paling jago berkelahi di sekolah cuma pengecut kecil yang lari dari hidupnya, tak sanggup membuktikan pada orang tuanya kalau dia juga bisa jadi yang terbaik.” Gerahamnya menegang, aku tahu dia marah mendengar ucapanku.

“Kau banci…! Pengecut!!”

“APA!!! Jaga ucapanmu!” Darahnya telah naik ke kepala.

“Pengecut…pengecut…kau penakut!!!” umpatku. “Kalau kau berani sudah sejak dulu kau keluar dari kerangkeng tololmu itu. Dasar pengecut!!!!”

PLAKKK!!! Perih saat kurasakan tangan itu menyentuh pipiku. Tanpa terasa airmataku mengalir, makin membuat perih itu menyayat. Di bening airmataku aku menatapnya dengan garang, aku masih menantangnya. Apa lagi yang akan dilakukannya, udah cukupkah dia menghempaskan sesaknya. Aku terdiam, tapi tetap saja airmataku mengalir

“Maaf…maafkan aku.” Disapunya air mataku, dia menatapku lembut. Tatapan yang baru pertama kali kulihat.

“Kau benar, aku pengecut. Kenapa kau berani berkata seperti itu, kau sadar tidak, kau benar-benar mengusikku!”

“Aku benar-benar kesal, ada orang yang tahu semua kekalutanku.” Dia masih menatapku, aku membeku. Kemudian ketegangan itu mencair dia tersenyum, entah mengapa aku pun tesenyum.

“Jadi kau mau jadi temanku?” Aku mengangguk. Kuacungkan jari kelingkingku, dia mengerjitkan dahi lalu ikut menautkan kelingkingnya di kelingkingku. Kami berdua tersenyum.

“Sakit yah?” Disapunya pipiku yang memerah.

“Tentu saja! Orang tuaku saja tidak pernah menamparku dan kau seenaknya…” teriakku kesal.

“Maaf, sekali lagi aku minta maaf. Kau boleh membalasnya.” Dimajukannya pipinya, aku mundur selangkah

“Kau tidak menyesal kan? Tamparanku akan lebih keras lagi!” ancamku. Dia cuma meringis. Kuarahkan tanganku ke wajahnya, dia menutup matanya. Aku ingin tertawa melihat tingkah bodohnya, dengan perlahan kuusap darah yang masih mengalir di wajah putihnya itu. Dia membuka matanya sambil tersenyum, kami berdua tertawa.

®®®

Masa putih abu-abu berakhir sudah. Kenangan itu masih saja membekas, setidaknya ada yang tertinggal di jalan itu. Hari dimana rutinitas itu bukan perulangan sejati. Kami berempat kini berpindah ke masa yang lebih dewasa. Aku, Meyra, Dian, dan Dimas masih tetap di satu universitas walau berbeda jurusan kecuali Dian dan Dimas. Aku masih ingat bagaimana Meyra dan Dian marah habis-habisan melihat aku berteman akrab dengan Dimas. Tapi toh setelah mengenal Dimas lebih dekat mereka berubah, kadang menilai sesuatu dari kulit luarnya saja membuat kita salah menafsirkan sesuatu, baik ternyata buruk, dan buruk ternyata baik. Ambivamensi yang sempurna.

“Woi, ngelamun lagi! Jadi nggak nih acara traktitrannya!” Dimas mengejutkanku, kini mengelus perutnya. Aku hanya tertawa.

“Iyah lah, tungguin yang lain dulu.”

“Kalo bukan karena kamu, aku nggak mungkin ada di sini.” Dimas mengacak rambutku.

Aku protes dengan sengit, “Ih, jangan gitu dong, aku bukan anak kecil.”

“Bukan anak kecil! Cuma anak kecil yang ngebuat janji kelingking,” ejeknya.

“Dimassssss! Ih kamu kok gitu sih, nggak solider amat. Pake ninggalin gue lagi!” Dian berlari ke arah Dimas dan kini bergayut mesra di tangannya. OK, jantungku berdenyut kencang, aku cemburu!!! Huekkk no, i’m not jealous. Untuk apa aku cemburu pada sahabatku sendiri. Oh yah, kami berempat memang hanya bersahabat.

“Sori, sisa Meyra nih. Mana tuh anak?” Dimas menatapku, aku mengangkat bahu.

“Udah kita jemput aja di tempatnya.” Dian memberi usul, kami mengangguk. Dan hari itu berakhir indah walau sisakan sedikit sesak di satu rongga dadaku. Sejak kapan rasa ini ada?

®®®

Malam menyelimuti bumi, sejak tadi mentari bersembunyi. Berganti rembulan setengah bulat menggantung disisi langit. Sesak itu makin mencengkramku seperti gelap mencengkram cahaya. Percakapan itu terpantul terus di telingaku, aku hanya sempat berdiri di ambang pintu rumah Meyra saat mendengar suara di baliknya.

“Aku sayang banget ma dia Mey, cuma aku takut persahabatan kita hancur. Aku tidak mau itu terjadi.” Aku tahu betul itu suara berat Dimas.

“Yah sudah, apa salahnya sih kamu jujur. Daripada nggak jelas kayak gini. Dia pasti ngerti! Udah deh, kamu nemuin dia sekarang, entar nggak ada waktu lho.” Aku tidak sanggup lagi berdiri di tempat itu, semua percuma. Kutekan gas kuat-kuat, aku ingin segera tiba di rumah. Traffic light berubah merah, terpaksa kuhentikan civicku. Apa aku salah jika berharap itu aku? Bodoh tidak mungkin, pasti yang dimaksudnya Dian. Apa? Dian? Itu Dian, tatapanku terpaku pada sebuah mobil tepat di sampingku. Itu mobil Dimas, dan di dalamnya ada Dian dan Dimas. Aku tidak sanggup lagi berpijak, kutekan gas kuat-kuat saat merah tersenyum puas, kuharap mereka berdua tidak menyadari kehadiranku. Tapi terlambat, mobil VW Beatle itu telah berada beberapa meter di belakangku. Kulajukan lebih cepat lagi, aku tidak sanggup menemui mereka. Air mataku mengalir kian deras.

BRAKKKK suara di belakangku terdengar seperti dentuman benda keras, sesaat kemudian diikuti sirene ambulans, sosok itu bersimbah darah, dan aku sangat mengenal sosok itu…

®®®

Hujan masih mengguyur tanpa ampun, Dimas masih disana, bersimpuh menatap nisan itu.

“Aku bodoh, seharusnya sejak dulu aku ungkapkan perasaanku. Aku terlalu sayang padamu. Tak ingin menghancurkan persahabatan kita. Mengapa tak kau berikan aku waktu untuk mengungkapkan semuanya.”

“Aku mencintaimu,” desisnya pada nisan itu. Oh Tuhan, begitu berharga sosok yang tertidur damai di bawah sana untuk Dimas.

“Cuma kau yang memahami aku.” Aku tidak sanggup lagi berucap, aku sangat ingin menghentikan kesedihannya berbagi derita dengannya, pada orang yang telah mengubah jalanku, membelokkannya sedikit dan menghapus kejenuhanku dengan perasaan tolol yang sampai kini masih tesimpan di kotak hatiku. Aku mendekatinya, kugerakkan tanganku ingin menyentuh bahunya, aku tercekat ketika mataku menatap nisan itu. Di sana tertulis namaku. Aku mundur beberapa langkah.

“Dia nggak mau kau kayak gini, dia pasti ingin kau bahagia.” Dian kini mendekatinya.

“Ini untukmu, buku harian Finta. Aku juga ingin minta maaf padanya. Selama ini dia menyangka kau suka padaku. Seharusnya dia sadar, kalau kau hanya mencintai dia.” Dimas masih terdiam. Diraihnya bukuku itu. Kini aku hanya membeku menatap semuanya. Angin berhembus, melayangkan aku semakin jauh. Berharap semoga ada indah di ujung sana untuk dia, dia yang telah mengukir satu kisah di lembar hariku yang harus berakhir di sini.

korban dendam

Peter dan Apeng, menaruh dendam kepada gerombolan FanSeng. Dalam kelompok Doni, mereka dikenal lebih bernyali ketimbang yang lain. Sementara Heri, Rina, dan Ling-Ling menemani Doni yang trauma. Peter dan Apeng bergegas mencari tempat perkumpulan gank FanSeng. Sesampainya di tempat gerombolan FanSeng, Apeng segera menghunuskan samurai ke arah FanSeng. FanSeng terkejut dan takut, sambil berusaha menenangkannya.

“Tenang, Kawan!”

“Kau takut?”

“Bukan begitu. Apa tak ada cara lain untuk menyelesaikan ini?”

“Maksudmu?”

“Bagaimana kalau kita berlomba? Siapa menang boleh melakukan apa saja.”

“Baiklah. Tapi ingat, aku sangat senang mengalahkanmu dan memotong-motong tubuhmu!”

Entah apa di benak Apeng sehingga begitu mudah menerima tawaran FanSeng. Padahal ia orang yang sangat licik. Segera saja arena dipersiapkan dengan rute yang menantang: menembus lintasan rel yang akan dilalui kereta api malam. Hitungan ketiga dimulai dan perseteruan mereka di jalanan tak terbendung. Di garis start, ternyata FanSeng telah mengatur siasat untuk melumpuhkan Peter.

Apeng dan FanSeng terus melaju dengan kecepatan tinggi, sementara Peter tak berdaya dikeroyok gerombolan FanSeng. Apeng yang terlena oleh suasana tak menyadari rencana busuk FanSeng. Di atas medan jalan, mereka saling memotong laju. FanSeng terlihat senang bermain-main dengan emosi Apeng. Begitu jarak mulai mendekati lintasan rel, FanSeng menurunkan kecepatan agar tidak berbenturan dengan jalannya kereta, sementara Apeng terus menaikkan kecepatannya. Tak lama berselang, apa yang direncanakan berhasil.

“Prrrraaakkkk..”

Sambil tertawa, FanSeng menyaksikan Apeng dan motornya dibawa oleh kereta malam. Entah kemana. Dia tak menyangka, semudah itu membodohi Apeng dan Peter.

***

“Wisnu, Apeng, dan Peter telah pergi.”

“Sebaiknya kita membubarkan diri saja!”

“Don, kamu bicara apa? Justru mereka ingin kita tetap bersama!”

“Lalu, apa yang mesti kita lakukan?”

“Balas dendam!”

“Kita harus balas dendam, Don!”

Terjadi perdebatan serius antara Doni dan Heri. Malam berkabung itu memang hanya mereka yang berkumpul di tempat biasa. Ling-Ling trauma dengan kepergian kekasihnya, Apeng. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengunjungi Ling-Ling di rumahnya.

“Kemana Rina? Mengapa hanya kalian berdua?”

“Kami tak tahu. Sejak sore tadi kami tunggu, tapi tidak kelihatan juga.”

Tanpa banyak komentar, Heri menegaskan tujuan mereka datang. Tanpa dipikir ulang, Ling-Ling setuju dengan ajakan itu. Mereka pun terlibat perbincangan serius tentang rencana balas dendam terhadap FanSeng.

Kekasih Doni, Rina, ternyata sudah berada di tempat FanSeng. Entah apa yang dilakukannya di sana. Gadis anggun itu terlihat akrab dengan FanSeng. Seperti kebanyakan perkumpulan motor, gerombolan FanSeng sedang asyik menenggak minuman murahan dan mengadakan pesta dansa jalanan. Bahkan, Rina pun tidak canggung dengan suasana seperti itu, suasana yang tidak didapatnya pada perkumpulan Doni.

Sementara di rumah Ling-Ling, rencana matang disiapkan untuk menghancurkan gerombolan FanSeng. Dengan motor kesayangannya masing-masing, mereka langsung menuju ke tongkrongan FanSeng. Sebelum sampai di sana, Ling-Ling berinisiatif menghubungi kantor polisi terdekat. Akhirnya dengan mengendap-endap, mereka mulai memasuki daerah kekuasaan FanSeng. Betapa kagetnya mereka, terlebih Doni, begitu melihat Rina ikut berpesta pora bersama gerombolan FanSeng. Dengan emosi yang menggelembung, Doni menghampiri mereka, kemudian diikuti oleh Heri dan Ling-Ling.

“Perempuan jalang!”

“Ternyata selama ini kau menipu kami!”

Betapa kagetnya Rina atas kehadiran mereka. Si licik FanSeng langsung mengerahkan anak buahnya untuk memukuli mereka. Tapi, mereka melawan. Heri berlari ke arah motornya. Ling-Ling menyambangi Rina dan menjambakinya. Sementara Doni mengejar FanSeng dengan sebilah sangkur milik ayahnya.

Perkelahian tak berimbang di malam jahanam itupun pecah. Dengan motornya, Heri menghantam gerombolan FanSeng yang tengah sempoyongan. Tetap saja, karena kalah banyaknya orang, mereka bertiga malahan menjadi bulan-bulanan.

Heri terjatuh dari motornya. Doni pun dikeroyok. Sementara Ling-Ling diikat di sebuah tiang telepon yang sudah tak berfungsi. Heri dan Doni terus dipukuli tanpa ampun oleh gerombolan si licik FanSeng. Mereka melayangkan bogem mentah bertubi-tubi hingga akhirnya Doni jatuh tak sadarkan diri. Heri yang terus melawan akhirnya dihentikan dengan sepuluh tusukan di dadanya. Sementara Ling-Ling dijadikan alat pemuas nafsu birahi mereka, sebelum akhirnya dibunuh oleh FanSeng.

Doni berusaha bangkit. Matanya memandang samar motor-motor yang melintas di sekitarnya, kemudian tak sadarkan diri lagi. Tak lama, polisi datang menangkap gerombolan FanSeng, termasuk Rina. Jenazah Heri dan Ling-Ling dievakuasi, sementara Doni dilarikan ke Puskesmas terdekat.

***

Kini, tinggallah Doni sendiri. Wisnu, Apeng, Peter, Heri, dan Ling-Ling pergi. Begitu juga Rina yang mendekam di penjara. Sementara itu, FanSeng dijatuhi hukuman mati, sedangkan rekan-rekannya harus menikmati kehidupan di balik jeruji besi seumur hidup mereka.

“Semoga mereka tenang kini!”

Kata itu seakan menyadarkan Doni dari lamunan panjang bersama album foto yang ada dihadapannya. Selama lima belas tahun, kursi roda, album foto dan tetesan air matalah yang setia menemani Doni. Entah sampai kapan penyesalan itu berakhir.

Seribu Jalan Kebaikan



Langit masih terlihat kelam. Semburat awan kelabu masih mewarnai birunya langit. Pohon – pohon terlihat basah dengan butir – butir air yang masih menempel di daun. Cekungan air berwarna coklat terbentuk pada ruas jalan yang berlubang. Tiap harinya jalan yang sudah berlubang di sana - sini itu, dilalui banyak kendaraan dari truk pengangkut pasir sampai sepeda. Tapi pagi ini, hanya satu dua kendaraan yang terlihat melewati jalan ini, mungkin karena hujan yang baru saja turun.
Di sisi jalan inilah, setiap hari seorang kakek tua berjalan menyusuri tepian jalan, mencari rezeki demi keluarga dengan menjual kayu bakar. Tubuhnya kurus kering, pakaiannya kumal, deretan giginya sudah tidak utuh lagi dan barisan rambut putih telah memenuhi seluruh kulit kepalanya. Walaupun begitu, semangat kakek untuk bekerja tak pernah surut. Seperti semangatnya ketika membela tanah air di masa perjuangan.
Dulu, dengan gagah berani, sang kakek bersama pejuang lain berhasil melawan penjajah dalam peristiwa Hotel Yamato di kota pahlawan ini.Pertempuran sengit di hotel yang kini bernama Hotel Majapahit itu berawal dari penjajah yang berani mengibarkan bendera merah putih biru di atas Hotel Yamato. Saat itu, semua arek Suroboyo merasa terhina dan bertekat mengganti bendera itu dengan bendera merah putih milik Indonesia.
Pertempuran hebat tak bisa dihindarkan, dengan senjata seadanya, mereka melawan penjajah yang bersenjatakan pistol. Beberapa arek Suroboyo mencoba mempertaruhkan nyawa mereka, termasuk sang kakek, dengan memanjat dinding Hotel Yamato dan berusaha merobek warna biru dari bendera tersebut. Penjajah yang tak mau kalah, menembaki dari bawah semua pejuang yang berusaha memanjat menuju atap hotel. Banyak pejuang yang gugur bersimbah darah dengan pekik perjuangan yang masih menyala. Tapi, akhirnya mereka berhasil merobek warna biru dari bendera tersebut dan menjadikan sang merah putih berkibar di sana.
Sang kakek masih ingat peristiwa itu. Bagaimana kerasnya ia dan teman – teman seperjuangan berjuang mempertahankan kemerdekaan, bagaimana ia melihat satu per satu temannya gugur bersimbah darah dan bagaimana ia dan pejuang lainnya mengusahakan hidup merdeka untuk generasi selanjutnya.
Hingga hari tuanya tiba, tiada kebahagiaan yang berarti selain melihat Indonesia tersenyum. Walaupun tanda penghargaan tertinggi sebagai pahlawan tiada disandangnya. Sambil terus berjalan menyusuri jalan, sang Kakek meneriakkan kata,”Kayu bakar!!!Kayu bakar!!!” dan ketika itu terlihatlah giginya yang ompong.
Sang mentari mulai membagikan kembali sinarnya setelah hujan yang membuat kayu bakar kakek tidak laku. Jalanan yang tadinya lengang dan hanya satu dua kendaraan saja yang lewat menjadi sedikit lebih ramai. Beberapa truk pengangkut pasir lewat dengan pasir bawaannya yang menggunung. Di sampingnya ada pengendara motor yang melaju dengan kecepatan tinggi. Sang pengendara yang tidak sabar berusaha mendahului truk tersebut. Truk pengangkut pasir yang tidak siap dengan keadaan ini, tak bisa mengerem mendadak sehingga kehilangan kendali dan menabrak pengendara motor itu. Motor tersebut langsung terlempar ke sisi jalan dan……. Brakk!!!
Semua orang di sekitar tempat kejadian segera berlari untuk melihat apa yang terjadi. Sesosok tubuh kurus kering dan bersimbah darah tergeletak di dekat motor yang tadi terlempar, beberapa kayu bakar yang basah, jatuh berserakan di dekatnya. Di dekatnya lagi terdapat sang pengendara motor dengan helm yang masih melekat di kepalanya yang sudah tak bernyawa lagi. Orang – orang hanya bergumam, “ Kasihan si penjual kayu bakar itu…. “
Gemuruh petir kembali menggema. Sinar sang mentari tak mampu menghalangi sang langit untuk menangis. Rintik – rintik hujan turun perlahan. Mengiringi kepergian sang pahlawan yang dulu telah mempertaruhkan hidupnya demi generasi muda. Kembali ke Sang Pencipta dengan seribu jalan kebaikan.

Tiada kata yang bisa menggantikan arti pengorbanannya. Yang setia bertaruh jiwa raga, meskipun kata “Sang Pahlawan” tiada dikenang orang. Walaupun kini hanya kata “Si penjual kayu bakar” yang melekat di hati orang,tapi tidak di masa lalu. Saat itu kata “Pahlawan”-lah yang melekat di hati mereka.

Di Tepian Sungai Lain


Sore yang kering di tepian Mekong. Angin menyisir ilalang. Thailand tampak dalam jangkauan pandang. Di seberang sungai lebar yang panjangnya melintasi lima negara ini, aku duduk termenung. Aku tak bisa tersenyum dengan sesungguhnya. Hatiku mati rasa. Cinta lelaki itu telah membunuhnya. Menjadikanku zombie yang tak berperasaan.

Kau buang kemana hatiku, hai laki-laki pencuri? Setelah malam itu kau buka bungkus dadaku. Kau ambil isinya hingga habis tak tersisa. Lalu kau menghilang. Meninggalkanku dalam kenangan di tepian sungai Huangpu, Shanghai. Aku tak bisa hidup tanpa hati. Lidah ini jadi ikut mati rasa. Aku tak bisa merasakan rasa yang lain selain dirimu.

Mekong terbelah di tengah. Dasarnya yang kering tersembul. Hanya tepian yang dialiri air. Itupun hanya setinggi lutut. Ikan apa yang kau jaring Phoor? Dari tempatku duduk, tak kulihat apapun tersangkut dalam jaringmu. Padahal kau telah berjalan begitu jauh menyusuri sungai, menyeret jaring itu. Tidakkah hidup terasa sulit untukmu? Terpikirkankah olehmu untuk melarikan diri dari penderitaan. Seperti yang kulakukan saat ini?

“Sabai dee!” Seorang wanita muda mengucap salam khas Laos. Aku tersenyum saja. Di negeri ini kita harus hati-hati. Perdagangan narkoba dan seks begitu bebas. Aku tak mau perjalananku ini berakhir di penjara.

“Are you Philipines?”

“No!”

“Where’re you come from?”

“Guess it.”

“Thailand?”

“Totally mistake!”

“Sialan!”

“Ha ha ha!”

“Why are you laughing?”

“Sialan juga deh!”

“Apa? Indonesia!”

“Kita sekampung teman!”

“Ha ha ha!”

Namanya Lisa, dari Jakarta. Banyak kesamaan di antara kami. Sama- sama suka warna merah, putih, hitam dan coklat. Dia menyayangi kucing dengan cara yang sama sepertiku. Mengelus bulunya dari arah ekor ke kepala. Dan yang lebih seru lagi kami sama -sama habis dibodohi cinta palsu.

Sekian banyak kecocokan mengakrabkan hati. Lisa seperti bukan orang asing buatku. Mendengar kisah cintanya yang pedih, membuatku seperti menemukan cermin hidup. Tapi Lisa tak berada disini untuk melarikan diri sepertiku, tapi untuk urusan pekerjaan.

“Di mana hotelmu?” tanya Lisa padaku.

“Art Hotel Beau Rivage Mekong,” jawabku lengkap.

“Ooh, That pinky hotel! So sweet!”

“Jangan ngejek ya, memang itu hotel murahan, tapi aku menemukan kedamaian di situ!”

“Tak ingin mencoba hotel lain? Hotelku mungkin? Bintang empat, standar internasional!”

“Hotel dengan jaringan internasional seperti itu di Indonesia juga ada. Aku mencari sesuatu yang beda. Lagipula aku sedang berjuang melawan kenangan. Ada banyak kenangan dengan hotel-hotel macam itu. Sekarang sedang terasa menyakitkan.” Kutarik nafasku dalam-dalam. Kuhembuskan dalam asap rokok Laos rasa menthol.

“Selalu di hotel sekelas itu? Hebat! Cinta yang hebat!” Canda Lisa.

“Cinta macam apa ? Cinta dalam hitungan jam, harus segera berakhir sebelum jam dua belas siang. Cinta Cinderela! Setelah jam duabelas siang semua kembali pada kenyataan,” kataku dengan wajah sendu. Lisa merangkul bahuku. Kusandarkan kepalaku di bahunya, Ah.

Bukannya aku tak tahu tentang dosa. Dosa sebesar gunung pun sudah tertanggung. Betapa tulus aku mencinta. Betapa sabarnya aku menanti secuil cinta yang tersisa. Dijadikan istri kedua aku pun rela. Andai lelaki itu lebah jantan yang sesungguhnya. Ia pasti akan membawa serbuk sari murni pada kepala putikku. Maka bunga cintaku akan menjadi buah. Tapi aku justru tersudut dan layu. Lelaki yang membuang hatiku di Huangpu. Cuma lelaki laba-laba yang menyamar jadi kumbang flamboyan, bergaya sok jantan. Memasang jaring jebakan di setiap sudut jalan. Menjeratku.

Habis manis sepah dibuang. Aku manis, Lisa manis. Tapi kami tetap dibuang. Bukan karena sepah. Tapi karena gelisah. Tak habis kami menuntut janji dari lelaki-lelaki itu. Lelaki yang kemudian jadi resah. Kami ingin dinikahi, walau cuma siri. Bukankah kami sudah dengan tulus hati menyerahkan harga diri? Lelaki-lelaki itu langsung melarikan diri.

Keramaian tepian Mekong di malam hari. Dengan lalu lalang bule-bule, dengan deretan kafe-kafe kecilnya. Dengan aroma ikan bakar, alkohol, dan parfum wanita-wanita penjaja cinta. Mengingatkanku pada Kuta yang masih perawan. Tapi Kuta begitu renta, sangat sesak nafas dan komersil. Seperti pelacur tua yang terus mempertebal gincu. Di Kuta telingaku tak bisa sedingin ini. Aku terpesona pada kesenyapan Mekong.

Ketegangan hatiku meluntur. Layar kelam terangkat perlahan. Pandangan sedikit mulai terang. Hatiku berkecambah tanpa kutahu. Hanya disini bagian kota Vientiane yang masih berdenyut. Sisi lain sudah senyap. Toko, pasar, kantor hanya sampai jam empat sore. Santai sekali. Aku benar-benar merasakan kendurnya saraf-sarafku.

Lisa tersenyum dalam taburan bunga tarian gadis Campa. Entah mengapa dalam pandanganku dia tampak berkilauan. Pesta kecil di tepian Mekong ini terasa meringankan beban hatiku. Alunan musik berubah. Penari campa yang tadi menarikan tarian bunga turun dari panggung. Dia meraih lengan setiap orang dan mengajak menari Lumvong Lao. Tari pergaulan rakyat Laos. Kami menari. Lisa tertawa. Aku tertawa!

Aku tertawa? Apakah aku sudah menemukan hatiku kembali? Hatiku yang hilang di tepian sungai lain di belahan dunia yang lain. Oh akankah cinta yang hilang itu tergantikan? Di sini? Di tepian sungai yang lain di belahan dunia yang lain. Lisakah?

“Aku benci laki-laki!” teriakku pada Mekong. Orang -orang memandangku sebentar lalu mengacungkan kaleng Lao beer mereka. Mungkin aku dikira sama mabuknya dengan mereka.

Aku menangis, Lisa menangis. Dua orang wanita yang melarikan diri dari cinta yang sangat menyakitkan. Kami sama-sama mencintai pria yang beristri. Bersetubuh dengan mereka, dan sama-sama di campakkan setelahnya.

“Lisa, khoi hak chao!” kataku.

“Khob chai, phii huk.” Kami berpelukan.

Hatiku memang benar-benar sudah hilang hanyut terbawa arus Huangpu di Shanghai. Tapi aku menemukan Hati yang baru dalam aliran Mekong di Vientiane ini. Hati yang benar-benar baru. Hati itu, Lisa!

Mekong Riverside, 00.00, 060208

Phoor : Bapak Sabai dee : Halo

Koi hak Chao : aku cinta padamu Phii huk : sayang

Khob chai : terima kasih

Cerpen oleh RADIANI

Surya Panen



Sebelum tidur, lelaki berkaca mata itu memeriksa semua pintu dan jendela. Akhir-akhir ini sering terjadi pencurian, perampokan kadang disertai pemerkosaan, penganiayaan bahkan pembunuhan. Apalagi setelah kenaikan harga BBM, perekonomian semakin anjlok. Kriminalitas meningkat. Pengangguran korban PHK dan putus sekolah bertambah. Sebuah lingkaran setan yang tak bisa diurai mana ujung dan pangkalnya.

Surya Panen, lelaki itu mengusap keningnya yang berkeringat dingin. Belakangan ini ia sering dilanda ketakutan yang luar biasa ketika menjelang tidur. Ketakutan yang tak bisa dicari alasannya.

Berita di surat kabar, televisi, dan radio tentang kejahatan yang meningkat, menjadi obrolan yang menegangkan dengan teman sekerja di pangkalan ojek. Ketegangan itu terbawa pulang ke rumah. Mengikutinya seperti hantu. Akibatnya hubungan dengan istrinya pun jadi memburuk. Sering ia merasa was-was ketika meninggalkan istri dan rumahnya untuk bekerja. Ia takut rumahnya kerampokan atau istrinya diperkosa orang.

Ia mencurigai siapapun yang tak dikenalnya. Ia sangat waspada bahkan suara cicak pun bisa membuatnya mengacungkan golok yang selalu disanding di sebelah bantal. Ia memandang istri gemuknya yang pulas memeluk guling dengan getaran nafas yang terhambat lemak. Menimbulkan bunyi khas yang memenuhi kamar tidur. Ketika sang istri masih mendengkur. Panen memeriksa simpanan uang dalam peti kayu yang tersembunyi di balik lemari baju. Ia lega semuanya masih utuh lalu ia kembali tidur, diiringi dengkur istrinya yang menjadi musik pengantar tidur hingga esok kembali mengulang hari.

Rasa takut terbawa mimpi. Ia merasa didatangi lelaki bertampang seram, kumis tebal dan muka bopeng. Lelaki seram itu menampar kedua belah pipinya. Sakit. Pandangan menjadi biru ungu kelap-kelip kunang-kunang. Semua barang bawaan diminta paksa sambil memukuli sekujur tubuhnya.

“Tolooong…!” teriaknya.

Lalu ia terbangun dengan celingukan. Istrinya menertawakan dirinya. Ternyata tak ada apa-apa kecuali mentari yang mulai naik. Dan mengantarkan kehangatan melalui jendela kamar. Istrinya masih saja tertawa, saat itu wajah Panen yang sedang mengumpulkan kesadaran terlihat sangat lucu di mata wanita berdaster ukuran xl itu. Panen menceritakan mimpi buruknya. Sang istri hanya mengangkat alis, malas menanggapi.

“Oh…” begitu saja komentar perempuan itu. Mulutnya membetuk lingkaran dengan bibirnya yang tebal. Ia pun beranjak dari kamar meninggalkan Panen yang masih berbaring di kasur.

Nama Surya Panen diberikan Bapak dengan harapan dan doa kelak dapat menuai keberhasilan. Masa depan cerah, secerah hamparan kuning padi yang siap panen. Lelaki tua berambut perak, dengan tubuh bungkuk itu, masih saja setia melayani pelanggan di bengkel sepedanya yang tak jauh dari pangkalan ojek tempat Panen biasa ngetem.

Panen diam-diam sering mengamati wajah renta yang dipenuhi kerut lisut, dari tempatnya mangkal. Ia sedih, benih harapan yang ditanam dalam dirinya tak pernah bisa menjadi padi kesuksesan berbulir padat. Ia ingin bisa membahagiakan lelaki yang selalu tampak tekun berjongkok memperbaiki ban sepeda anak tetangga. Tapi nasib tak berpihak padanya

Sejak ia lahir, Bapak memperbaiki sepeda. Sekarang setelah ia dewasa, Bapak masih saja memperbaiki sepeda. Bengkel sepeda yang makin lama makin lusuh. Seperti seonggok kain tua. Yang hanya pantas untuk lap kompor. Bengkel yang makin mengkeriut tertelan kios, toko, warung makan disekitarnya. Bengkel Bapak tampak reot dis amping semua bangunan baru itu. Bengkel yang semakin tua seiring kerentaan bapak. Dan Panen tak bisa berbuat apa-apa selain hanya kelu memandang.

Setan was-was kembali datang, dengan gemuruh teriakan demonstran. Di tanduknya terikat sepotong kain merah bertuliskan ‘Turunkan BBM’. Menyetop seluruh angkutan umum dan mengajak semua orang untuk berjalan kaki membawa spanduk dan poster protes sambil meneriakan yel-yel heroik.

Panen menggigil mendengar derap demonstrasi itu. Kerumunan itu memekatkan matanya. di antara sorak sorai ’setuju’ dari massa yang entah menyepakati apa. Panen mendengar makian. Yang makin lama makin keras menggelombang, ‘Hancurkan, bakar, tembak!’ entah dari mana. Tiba-tiba semprotan air menampar wajahnya, mengabutkan pandangan. Panen terjebak dalam amukan masa yang membadai.

Batu-batu berterbangan. Bambu runcing menusuk-nusuk langit. Bom molotov melontarkan api. Kawat duri melilit-lilit aspal jalanan. Peluru karet berdesingan diantara asap yang mengepul dari bom asap dan ban yang dibakar. Langit menjadi merah hitam dan berbau hangus.

Panen merunduk. Tiarap di tanah. Ia takut jadi korban konyol dari kerusuhan ini. Batinnya sangat trauma dengan keberingasan yang biasanya hanya dilihat di televisi. Jantung Panen berhenti sesaat.

“Tidak! Ampun aku tak tahu apa-apa, bukan salahku…!Aaa…!”

Panen terpental dari bangku panjang di pos ojek. Jatuh ke tanah tak jauh dari motornya.

“Ha ha ha!” serentak tawa teman-temannya terdengar.

“Sadar! Siang-siang ngelindur!”

Panen merasa seperti jatuh ke negeri asing yang dipenuhi mahluk aneh yang menyeringai. Kesadaran pecah berantakan. Terpatah-patah dikumpulkan. Kalau saja tak ada Retno , janda kembang yang minta diantar ke pasar, mungkin ia masih terjebak dalam mimpi buruk siang bolongnya yang kering.

Panen membiarkan tubuh janda itu melendoti punggungnya, tangan mulus berjari lentik mendekap pinggang. Sedikit hiburan setelah tertekan mimpi menakutkan. Panen bersiul-siul membonceng sang janda, melewati seorang wanita gila berbaju rombeng, berambut kusut, yang berdiri di pinggir jalan. Wanita itu berteriak, “Kamu jahat! Kamu jahaat!” Wanita bernasib sial itu stress ditinggal kabur kekasih yang habis di PHK, karena pabrik tempat kerjanya tutup. Gara-gara kenaikan BBM.

Cerpen oleh RADIANI

Sepotong Lidah Liau Ke


Admin

Mei ni, gadis cantik, kutunggu kau di bawah lambaian dedaunan pohon Yang Liau. Yang bergoyang lembut mengikuti irama angin, di tepian sungai Huangpu . Apakah kau mengerti tentang ini? Tentang rasa yang tak tersampaikan, walau setiap hari kita bertemu.

“A Xing! Lihat aku menemukan burung ini!” A Lien, gadis cantik itu membawa seekor burung kecil yang terluka dalam keranjang rumput, bekas bungkus kepiting bulu. Sup kepiting bulu adalah masakan yang paling disuka ayah A Lien. Apakah ada sesuatu yang dirayakan keluarga itu hari ini? Sebab kepiting bulu mahal sekali, bila tak ada acara yang penting, tak mungkin kepiting bulu masuk dalam menu makan malam.

“Kau kelihatan gembira, ada apa? Kau berulang tahun?” tanyaku.

“Tidak! Lihatlah burung ini, kasihan sekali ya.”

“Burung apa?”

“Pu Ke.”

“Liau Ke.”

“Aku menemukannya tergeletak tak jauh dari kerbau- kerbau di ladang. Ini pasti burung Pu. Bukankah burung itu selalu naik di atas punggung kerbau.”

“Aku benci burung Pu. Burung yang malas. Tidak mau jalan sendiri. Kemana-mana menumpang punggung kerbau. Makan pun tergantung kerbau. Dia cuma menangkap lalat yang hinggap di pantat kerbau. Makhluk yang bisanya memanfaatkan makhluk lain!”

”Hei! Burung ini terluka, kenapa kau malah marah!” A Lien gusar.

“Itu bukan burung Pu, itu burung Liau! Burung Pu lebih besar dan berwarna abu-abu. Burung mungil berwarna biru ini, burung Liau. Lidahnya pasti terluka,” jelasku tegas.

“Bagaimana kau tahu ?” Mata sipit itu berkedip. Ah, kau memang menggemaskan A Lien.

”Legenda itu penyebabnya, burung ini pasti tadi ditangkap anak-anak dan dijadikan bahan permainan. Mereka pasti ingin membuktikan legenda itu.”

“Ceritakan padaku A Xing,” A Lien meminta dengan manis

“Liau ke dulunya seorang putri yang cantik. Ia jatuh cinta pada seorang pegawai istana berkasta rendah, tentu saja pada jaman itu hal tersebut sangat terlarang. Percintaan mereka pun menjadi kisah cinta terlarang.”

“Kasihan sekali, untung aku tak mengalaminya. Aku dijodohkan dengan A Lung, kami sederajat. Ayah sangat berhati-hati dalam memilihkanku calon suami. Nanti malam keluarganya akan datang melamarku.” Jadi untuk acara itulah kepiting bulu itu dihidangkan. Aku sekarang mengerti.

“Apa kau mencintai A Lung?” tanyaku langsung ke matanya. A Lien gagap menerima tatapku. Dia tercenung sesaat, lalu membuang mukanya.

“Entahlah aku belum mengerti. Aku masih ingin bermain di tepi sungai ini bersamamu, melihat kerbau, burung, dan memancing He Fen.”

“Kau suka sekali ikan beracun itu ya! Besok aku akan beli di pasar, dan memasaknya untukmu.”

“Ha ha ha! He Fen sungai lebih enak daripada He Fen pasar! Lanjutkan ceritamu.”

“Percintaan terlarang mendatangkan kutukan. Itu terjadi ketika Liau menolak dijodohkan dengan seorang pangeran. Bukan karena ia tidak tampan. Masalahnya ada janin yang tertanam dalam kandungan.”

“Anak dari pegawai berkasta rendah itu ya. Ah, kasihan sekali, cinta yang sulit. Pasti dipenuhi uraian air mata.”

“Dan banyak pengorbanan tentunya!” Seperti apa yang telah terjadi padaku. Aku banyak berkorban perasaan, hanya untuk bisa selalu dekat denganmu, tapi apakah kau mengerti tentang itu A Lien?

“Ya itu pasti.”

“Kaisar mengutuk putri Liau menjadi seekor burung. Dengan hati yang sedih Liau terbang keluar istana mencari kekasihnya untuk mengabarkan keadaanya. Tapi sayang sang kekasih tak dapat mengerti kata-kata Liau, karena Liau hanya bisa mencicit saja.”

“Lalu?”

“Liau pergi ke kuil di puncak gunung. Ia memohon pada dewa-dewa agar ia bisa bicara dengan bahasa manusia pada kekasihnya, untuk yang terakhir kali.”

“Kenapa Liau tak memohon untuk menjadi manusia kembali, jadi ia bisa bersama kekasihnya kembali?” Sebuah pertanyaan polos terlontar dari bibir mungil itu.

“Mmmm, Entahlah mungkin Liau sangat bingung. Jadi dia tak bisa berpikir hal lain. Lagi pula bila ia kembali jadi manusia, Apakah kaisar akan meloloskannya begitu saja? Ia pasti dikutuk lagi, menjadi katak mungkin.”

“Ha ha ha!”

“Dewa mengabulkan permohonannya, tapi dengan syarat berat. Kau pasti akan menangis bila mengetahuinya. Mungkin lebih baik tak kuceritakan saja ya?”

“Aaaah! A Xing jahat sekali! Jangan bikin penasaran nanti aku tak bisa tidur!”

”Ha ha ha! Baiklah, Liau harus memotong lidahnya, lalu dibakar dengan api dari puncak gunung.”

”Syarat yang berat. Bagaimana mungkin dengan sayap mungil ini bisa terbang ke puncak gunung. Sambil menahan sakit lidah yang terpotong.”

”Itulah perjuangan Liau. Sayang ia tak pernah sampai ke puncak gunung. Ia mati di tangan anak-anak. Seperti Liau Ke yang ada di tanganmu itu.”

”Ah sangat mengharukan. Selamanya Putri Liau tak pernah dapat menyampaikan perasaannya. Liau Ke ini juga akan matikah?”

”Tentu, tanpa lidah ia tak bisa makan, ia akan mati kelaparan.”

”Akan kubawa ia pulang. Biarlah ia mati dengan nyaman di rumah. Daripada mati di kerubung semut di ladang.” A Lien membungkus burung itu dengan sapu tangannya.

Kupandangi wajah A Lien. Mungkin ini untuk terakhir kalinya. Dia akan segera menikah dengan A Lung. Aku tak akan bisa memandangnya dengan bebas seperti ini lagi. Seorang pelayan sepertiku tak mungkin bisa mendapatkan anak bangsawan seperti A lien. Lagipula percintaan antara majikan dan pelayan adalah terlarang. Bukankah tugasku hanya melayani A Lien dengan penuh pengabdian dan kesetiaan. Bukan melayaninya dengan cinta. Aku sangat tahu diri dalam hal ini.

Legenda Liau Ke itu sebenarnya tak pernah ada. Aku mengarang cerita itu hanya untuk menggambarkan perasaanku pada A Lien. Tentang rasa cinta yang tak pernah bisa tersampaikan ini. Tapi apakah kau bisa mengerti A Lien? Haruskah kupotong lidahku?

Zhang jia gang, Shanghai, 051207.
Cerpen Oleh RADIANI